Jejak Aung San Suu Kyi

September 10, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Jejak Aung San Suu Kyi - Aung San Suu Kyi lama menjadi penganjur perdamaian, tapi giliran etnis Rohingnya dibantai ia bungkam.

Jejak Aung San Suu Kyi 

Dua puluh delapan tahun setelah meninggalkan tanah airnya, Aung San Suu Kyi kembali ke Myanmar. Orang ini telah melanglangbuana ke berbagai negeri mengikuti ibunya yang menjadi duta besar. Setelah meraih gelar master dalam ilmu politik dari Universitas Oxford, ia memilih menjadi akademisi dan menikah dengan Michael Aris, sejarawan Inggris yang menekuni Tibet. Dari perkawinan itu, ia melahirkan dua putra.

Jejak Aung San Suu Kyi
Jejak Aung San Suu Kyi


Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di sebuah desa kecil bernama Hmway Saung. Bapaknya, Aung San, bukan orang sembarangan: founding father negara Myanmar modern yang berjuang memerdekakan bangsanya dari kolonialisme Inggris. Sementara Khin Kyi, ibunya, juga berasal dari keluarga terpandang. Pada saat belum banyak perempuan Myanmar mengenyam pendidikan tinggi, Khin Kyi sudah merasakan sekolah keperawatan. Suu Kyi adalah anak ketiga dari empat bersaudara.

Kemuraman datang melanda keluarga kecil itu dua tahun setelah Suu Kyi lahir. Sang bapak terlibat konflik politik dengan lawannya yang menyebabkan ia mati terbunuh. Selepas itu, Khin Kyi sendirian mengurus anak-anaknya (baca kisah kematian Aung San di sini).

Lahir dari keluarga terpandang memang mendatangkan keistimewaan tersendiri. Meski bapaknya tewas akibat pertarungan politik, ibunya mendapat jabatan yang bergengsi di negara Myanmar merdeka sebagai duta besar. Dari situlah kemudian Suu Kyi bisa bersekolah di luar negeri mengikuti ibunya sampai ia bisa lulus dari Oxford.

Tatkala pulang ke Myanmar pada 1988 itu, ia sejatinya datang untuk menjenguk sang ibu yang sedang sakit keras, bukan untuk tinggal lama di kampung halamannya. Apa boleh buat, takdir rupanya berkehendak lain. Krisis politik terjadi di Myanmar setelah Jenderal Ne Win, diktator yang berkuasa selama 26 tahun, mengundurkan diri. Tuntutan demokratisasi meruap di mana-mana, demonstrasi besar-besaran menentang kembalinya rezim militer melanda Myanmar.

Suu Kyi kemudian didaulat para demonstran sebagai simbol perlawanan nasional. Mereka membangkitkan lagi memori kepahlawanan sang ayahanda, Aung San, ketika berjuang melawan penjajahan Inggris.

Dengan berbagai pertimbangan, Suu Kyi akhirnya memilih untuk mengiyakan permintaan para demonstran. Ia meninggalkan kenyamanannya sebagai bangsawan Myanmar yang hidup di luar negeri demi memimpin gerakan perubahan.

Maka di tengah puncak demonstrasi pada 26 Agustus 1988, Suu Kyi tampil berpidato di hadapan 500.000 orang yang berkumpul di halaman Pagoda Shwedagon menyerukan demokratisasi. Di hari itu, ia benar-benar muncul sebagai ikon. Tapi betapapun derasnya tuntutan, militer masih terlalu kuat secara politik. Awal September, Junta militer anyar penerus Ne Win berhasil mengambil alih kekuasaan.

Kepulangan Suu Kyi dan krisis politik itu adalah dua peristiwa yang kebetulan saja sebenarnya, tanpa ada kaitan politik apapun. Lewat “kecelakaan” politik, Suu Kyi muncul sebagai fenomena putri pendiri bangsa yang menjadi pemimpin di negaranya. Dalam konteks Asia Tenggara, kita juga mengenal Gloria Macapagal Aroyo (putri Diosdado Macapagal) di Filipina dan Megawati Sukarnoputri di Indonesia.

Akibat aktivitas politik yang membahayakan kedudukan junta militer, Suu Kyi mesti menanggung risiko paling berat. Satu tahun setelah kembali, Suu Kyi dikenakan tahanan rumah dalam waktu yang lama. Selama menjadi tahanan rumah, ia sebenarnya diizinkan pemerintah untuk bebas asalkan pergi meninggalkan tanah airnya dan tidak boleh kembali. Tapi ia memilih tetap tinggal, mengorbankan kebersamaan sebagai seorang ibu dengan suami dan dua putranya demi rakyat Myanmar.

“Sebagai seorang ibu, pengorbanan terbesar adalah melepaskan anak-anak saya, tapi saya selalu sadar dengan kenyataan bahwa orang lain telah berkorban lebih banyak dari saya,” kata Suu Kyi dalam The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements (2008).

Pada 1990-an itu, ia tak hanya populer di kalangan rakyat Myanmar. Lambat-laun, lantaran pemberitaan pers Barat soal heroisme Suu Kyi direproduksi terus menerus, ia menjelma jadi ikon kebebasan bagi orang-orang yang tertindas oleh militerisme dan rezim otoriter. Penghargaan Nobel Perdamaian yang ia dapat pada 1991 seperti meneguhkan ketokohannya.

Suu Kyi juga menjadi inspirasi bagi aktivis pro-demokrasi di Indonesia pada 1990-an. Situasi politik di Myanmar dan Indonesia saat itu hampir mirip: keduanya berada dalam cengkeraman diktator militer dan suara-suara oposisi direpresi.

Goenawan Mohamad, misalnya, merekam sosok itu dalam dalam “Catatan Pinggir” yang khusus didedikasikan untuk Suu Kyi dengan penuh simpati. Ada pula satu sajak yang ia persembahkan khusus buat Suu Kyi dengan judul persis nama lengkap tokoh oposisi Myanmar itu. Menggambarkan betapa besar hasrat akan kebebasan meski harus ditempuh dengan jalan sunyi, salah satu lariknya berbunyi:

“Seseorang akan bebas dan akan lari atau letih
Dan langit akan sedikit dan bintang beralih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat pagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akan tak ada”

Tapi segala heroisme Suu Kyi berubah menjadi kedegilan justru ketika apa yang paling dinantikannya tiba: kebebasan.

Pada 2010, ia dibebaskan dan segera menjadi tokoh Myanmar nomor satu. Junta militer, sementara itu, makin melemah dan terpaksa memberi beberapa konsesi bagi lawan-lawan politiknya. Salah satu konsesi yang diberikan adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.

Dua tahun setelah Suu Kyi bebas, partai yang dipimpinnya memenangi pemilihan umum. Tapi dia tidak bisa menjadi presiden lantaran konstitusi Myanmar tak memungkinkannya (suami dan anaknya adalah warga negara asing). Ia kemudian mendapat jabatan “hiburan” sebagai Konselor Negara.

Dalam suasana kebebasan itu, militer Myanmar yang masih memegang kekuasaan besar justru melancarkan persekusi dan pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingnya. Sejak 2012 sampai hari ini, ribuan orang Rohingnya mati terbunuh dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi.

Reaksi Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan dan pemimpin negara?

Ia tetap diam dan membiarkan pembantaian itu terjadi. Tak pernah satu kata kutukan pun terucap dari mulutnya. Bahkan ia banyak dikecam karena rasis dan punya kecenderungan sinis terhadap orang Islam.

Paradoks Terbesar Aung San Suu Kyishare infografik

Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada 2012, Suu Kyi kehilangan kesabaran ketika didesak oleh presenter yang memintanya mengutuk sentimen anti-Islam di Burma. Presenter tersebut adalah Mishal Husain, wartawati Inggris keturunan Pakistan yang beragama Islam.

“Tak ada yang bilang pada saya jika akan diwawancarai oleh seorang Muslim,” begitu keluhnya dalam komentar off-air setelah wawancara berlangsung. Tak pelak, protes pun makin menggila. Tuntutan agar panitia Nobel mencabut penghargaan untuk Suu Kyi juga bergema di mana-mana.

Bila kita menyimak pidato Suu Kyi dalam Kuliah Nobel tahun 2012, akan terasa percuma saja ia pernah mengucapkan kalimat ini:

“Di mana pun penderitaan diabaikan, akan ada benih-benih konflik, karena penderitaan merendah-hinakan dan menyakitkan dan menciptakan amarah.”

Ya, hari ini ia telah mengabaikan penderitaan bangsa Rohingnya. Itulah paradoks terbesar dalam hidup Suu Kyi. Tuntutan pencabutan Nobel, karena itu, bukan hal yang berlebihan.(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Peserta Aksi Bela Rohingya Shalat Jumat di Masjid An Nuur Magelang

September 10, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Peserta Aksi Bela Rohingya Shalat Jumat di Masjid An Nuur Magelang - Aksi kepung Candi Borobudur sebagai bentuk solidaritas kepada Rohingnya batal diganti dengan shalat Jumat dan shalat gaib.

Aksi solidaritas untuk Rohingnya yang rencananya akan dilakukan dengan mengepung Candi Borobudur dialihkan ke Masjid Agung An Nuur, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jateng. Kabid Humas Polda Jateng Kombes Djarot Padakova mengatakan, aksi dialihkan karena Polda Jateng tidak mengizinkan aksi di Borobudur.

Peserta Aksi Bela Rohingya Shalat Jumat di Masjid An Nuur Magelang
Peserta Aksi Bela Rohingya Shalat Jumat di Masjid An Nuur Magelang

"Aksi di Borobudur tidak jadi, kami larang. Mereka tidak jadi aksi tapi salat jumat bersama dan salat gaib," kata Djarot kepada Tirto, Jumat (8/9/2017).

Berdasarkan pengamatan reporter Tirto, ribuan massa telah mendatangi Masjid An Nuur, rombongan datang ada yg menggunakan bus, mobil pick up, dan motor. Merema datang dari kota-kota di sekitar Yogyakarta, seperti Solo, Klaten, Magelang, dan Muntilan.

Polisi sudah melakukan pemeriksaan sejak di perbatasan DIY-Jateng, pemeriksaan menimbulkan kemacetan yg cukup panjang sekitar 2 kilometer dari perbatasan DIY-Jateng. Pemeriksaan kedua dilakukan di Jalan Borobudur, sebelum masuk ke kawasan wisata candi.

Sementara di Masjid An Nuur, tempat berkumpulnya massa, polisi menjaga ketat sepanjang jalan menuju masjid.

Jalan ditutup untuk umum dan sebelum memasuki masjid, massa diwajibkan membuka tas dan barang bawaan serta melewati detektor metal.

Polisi juga menyiapkan pasukan anti huru hara dan pagar kawat untuk menutup jalan menuju masjid.

Untuk diketahui, salat jumat dan salat gaib bersama ini dilakukan sebagai bentuk aksi solidaritas untuk muslim Rohingnya yang tengah mengalami konflik di Rakhine.
(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Ridwan Kamil Ajak Galang Dana untuk Rohingya

September 10, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Ridwan Kamil Ajak Galang Dana untuk Rohingya - Walikota Bandung Ridwan Kamil mengajak warganya menggalang dana untuk membantu etnis Rohingya di Myanmar melalui Kitabisa.com.

Walikota Bandung Ridwan Kamil menginisiasi penggalangan dana untuk membantu etnis Rohingya di Myanmar melalui Kitabisa.com dan melalui aksi tersebut telah terkumpul dana Rp 1 miliar dalam waktu kurang dari 72 jam. Menurut Ridwan, hasil ini sesuai dengan harapannya bahwa dalam satu minggu, target Rp 1 miliar bisa tercapai.

Ridwan Kamil Ajak Galang Dana untuk Rohingya

“Alhamdullilah, warganet merespons positif ajakan untuk berdonasi bagi warga muslim Rohingnya. Seperti keyakinan saya di awal, enggak sampai seminggu target Rp 1 miliar bisa tercapai,” kata Ridwan di Bandung, Kamis (7/9/2017) sebagaimana dikutip Antara.

Ridwan Kamil Ajak Galang Dana untuk Rohingya
Add Ridwan Kamil Ajak Galang Dana untuk Rohingya

Jumlah sumbangan yang terkumpul adalah Rp 1.142.159.248 miliar dari 6.965 penyumbang. Sedangkan sumbangan terbesar dari donatur tercatat Rp 12,6 juta. Lanjut Ridwan, penggalangan dana ini sebagai perwujudan dalam (Alquran) Surah Al-Hujuraat yang dilakukan dari sesama muslim.

“Ketika muncul tragedi tersebut, sebagai sesama muslim kita wajib membantunya, seperti tersurat dalam (Alquran) Surah Al-Hujuraat,” kata Ridwan.

Meski sudah terkumpul Rp 1 miliar, Ridwan tak menampik jika dana akan terus bertambah, sebab penggalangan dana akan ditutup Senin (11/9/2017).

“Saya punya feeling di atas Rp 1,5 miliar mah sampai,” harap Ridwan.

Selanjutnya, dana yang sudah terkumpul tersebut akan diserahkan ke Aksi Cepat Tanggap (ACT), kemudian akan langsung dikirim ke warga Rohingya.

Kini, warga Rohingya banyak yang melarikan diri ke Bangladesh demi menyelamatkan diri dari kekerasan di Myanmar. Sebagai Ibu Kota Solidaritas Asia Afrika, Bandung tidak bisa diam melihat warga Rohingya, warga Bandung harus hadir membantu mereka, kata Wali Kota berusia 45 tahun tersebut. (Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Muhammadiyah Minta Pemerintah Sediakan Kawasan Pengungsi Rohingya

September 02, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Muhammadiyah Minta Pemerintah Sediakan Kawasan Pengungsi Rohingya - Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan penyediaan kawasan bagi pengungsi dari etnis Rohingya.

Muhammadiyah Minta Pemerintah Sediakan Kawasan Pengungsi Rohingya

Muhammadiyah Minta Pemerintah Sediakan Kawasan Pengungsi Rohingya
Muhammadiyah Minta Pemerintah Sediakan Kawasan Pengungsi Rohingya

Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendi, Jumat (1/9/2017) di Jakarta mengatakan upaya tersebut dianggap bisa membantu etnis Rohingya yang kini tengah mendapat persekusi dari pemerintah Myanmar.

Untuk diketahui, beberapa dekade silam pemerintah Indonesia pernah melakukan hal tersebut terhadap pengungsi Perang Vietnam dengan menyediakan kawasan Pulau Galang, Batam sebagai tempat menampung para pengungsi.

"Kami juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan diplomasi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak terbukti menghentikan Myanmar melakukan praktik Genosida terhadap etnis Rohingya," ujar Bahtiar.

Bahtiar mengatakan, krisis Myanmar jika dibiarkan bisa mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara karena akan menumbuhkan perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, dan imigran ilegal yang bisa membanjiri kawasan.

PP Muhammadiyah juga meminta ASEAN untuk menekan Myanmar di antaranya lewat pertimbangan pembekuan keanggotan Myanmar dari ASEAN.

Karena besarnya jumlah korban, ASEAN diharapkan tidak mengedepankan prinsip non-intervensi dan menggantinya dengan ikut bertanggung jawab dalam menyelesaikan krisis ini.

Aktivis HAM seluruh dunia juga diminta untuk ikut ambil bagian dalam memperhatikan krisis Rohingya.

"Dalam hal ini, PP Muhammadiyah bersedia memimpin untuk menggalang bantuan dan dukungan bagi etnis Rohingya," tuturnya.

PP Muhammadiyah juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini.

Komite hadiah nobel pun diminta mencabut hadiah Nobel bagi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi karena alih-alih mendamaikan malah memperburuk keadaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa juga diminta turun tangan, mengingat Myanmar tak punya itikad baik dalam menyelesaikan konflik. Kepada Bangladesh, PP Muhammadiyah juga meminta negara tersebut membuka perbatasan untuk alasan kemanusiaan.

"PBB menyebut Rohingya sebagai etnis paling tertindas di muka bumi. Mereka tertolak di Myanmar dan tertindas di Bangladesh. Karena ketidakjelasan identitas ini akhirnya akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal layak sangat terbatas," ucap dia.

Berdasarkan pantauan PP Muhammadiyah dalam satu pekan terakhir 3.00an etnis Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh untuk menghindar dari kebrutalan militer Myanmar. Jumlah korban mencapai 800 orang baik dari perempuan dan anak-anak.(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Pramuka Tembus Tiga Lokasi Pengungsian Rohingya

September 02, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pramuka Tembus Tiga Lokasi Pengungsian Rohingya - Konflik kembali bergejolak dan menimpa pengungsi kelompok minoritas Rohingya di Myanmar. Indonesia memiliki peran besar untuk mendorong agar kekerasan yang terjadi di Rakhine segera dihentikan. Atas dasar rasa kemanusiaan, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka berhasil menembus ke kantong-kantong pengungsian Rohingya untuk menyalurkan bantuan.

Pramuka Tembus Tiga Lokasi Pengungsian Rohingya

Pramuka Tembus Tiga Lokasi Pengungsian Rohingya
Pramuka Tembus Tiga Lokasi Pengungsian Rohingya

"Alhamdulillah atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dan pengamalan Dasa Dharma Pramuka, Pramuka coba hadir langsung ke kantong pengungsian muslim Rohingya di daerah Sittwey Rakhine State Myanmar," kata Andalan Nasional Kwarnas Gerakan Pramuka Bidang Pengabdian Masyarakat dan Siaga Bencana Eko Sulistio kepada JawaPos.com, Sabtu (2/9).

Kaum islam Rohingya Di Myanmar, mengalami kekerasan di mana ratusan rumah dibakar. Eko mengungkapkan perjuangan Pramuka menembus lokasi pengungsian untuk mendistribusikan bantuan pascakonflik.


"Memang tak mudah dalam menuju dan mendistribusikan bantuan pasca konflik yang baru saja terjadi 1 minggu yang lalu. Kami berupaya pintar-pintar melihat situasi dan kondisi serta terus mengupdate berita dilapangan, baik informasi dari mitra lokal atau relawan lokal dan juga pekerja kemanusiaan seperti dari Turki, Jerman, Prancis, Australia, Malaysia," papar Eko.

Lalu pada Jumat 1 September pukul 06.00 waktu Myanmar, Pramuka mencoba masuk ke beberapa kantong pengungsian. Di antaranya, Shan Tho Lee Camp, Lamache Village, Phia Lhe Song Village.

"Alhamdulillah di tiga lokasi ini pendistribusian bantuan berlangsung aman dan lancar. Pendistribusian bantuan difokuskan untuk kebutuhan anak-anak," tegasnya.

Sebab anak-anak, kata Eko, adalah kelompok yang paling terkena dampak dan menjadi korban konflik. Anak-anak rentan mengalami sakit dan kekurangan gizi akibat konflik berkepanjangan.

"Banyak anak-anak tak berpakaian, trauma, dan susahnya akses ke sekolah, bermain, hingga akses kesehatan," tegas Eko.(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Min Aung Hlaing, Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya

September 02, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Min Aung Hlaing, Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya -

We don’t have Rohingya in our country.
- Min Aung Hlaing, Komandan Militer Myanmar


Hanya satu orang yang dapat memerintahkan tentara untuk berhenti membunuhi orang-orang Rohingya dan membakari desa-desa mereka: Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Panglima Militer Myanmar.

Min Aung Hlaing, Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya
Min Aung Hlaing, Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya

Masalahnya, jenderal nomor satu Myanmar itu tak mengakui keberadaan Rohingya. Baginya, Rohingya adalah imigran ilegal. Dan demikianlah status Rohingya di Myanmar: orang-orang buangan tanpa kewarganegaraan, pun meski telah tinggal turun-temurun di negeri itu.
“Jenderal Min Aung Hlaing adalah orang yang memberi perintah untuk membunuh Rohingya. Aung San Suu Kyi mungkin ‘monster’, tapi tak ada apa-apanya dibanding dia,” kata Kyaw Win, Direktur Burma Human Rights Network, dalam percakapan dengan kumparan, Kamis (31/8).

Secara de facto, Suu Kyi memang pemimpin Myanmar. Meski Undang-Undang Myanmar tak memperbolehkan dia menjabat sebagai presiden karena suaminya berkewarganegaraan asing--Inggris, ia memegang sederet posisi strategis: Menteri Luar Negeri, Menteri Kantor Presiden, Menteri Tenaga Listrik dan Energi, serta Menteri Pendidikan.

Suu Kyi ialah Penasihat Negara Myanmar, yang sesungguhnya mengendalikan presiden negeri itu, Htin Kyaw--yang naik ke tampuk pimpinan atas restu dia dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy; NLD) yang memenangi pemilu.

Namun dengan berbagai jabatan “mentereng” itu, bukan berarti Suu Kyi bisa menggenggam seisi negeri, sebab parlemen dikuasai oleh militer, di bawah Komandan Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Kamis kemarin, (31/8), pegiat kemanusiaan mendesak komunitas internasional untuk memfokuskan tekanan pada sang Jenderal--sosok di balik pembantaian Rohingya.

“Hanya dia yang dapat menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Rohingya, dan sejak tentaranya memulai serangan baru akhir bulan ini, ia bahkan tidak menghadapi kritik atau tekanan langsung dari komunitas internasional,” kata Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign Inggris, seperti dilansir situs resmi lembaganya, Burma Campaign UK.

Farmaner tak berlebihan. Militer Myanmar yang mengawali operasi perburuan militan Rohingya sebagai respons atas penyerangan kelompok pemberontak ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)--yang disebut pemerintah Myanmar teroris--terhadap 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Rakhine, negara bagian Myanmar yang menjadi tempat tinggal Rohingya, nyatanya menarget rakyat sipil Rohingya tak pandang bulu.

Lelaki-perempuan, tua-muda, sepuh-bayi, semua jadi korban kebrutalan tentara Myanmar. Mereka ditembaki tanpa ampun, menjadikan operasi perburuan pemberontak menjelma genosida--pembunuhan besar-besaran secara terencana terhadap suatu bangsa atau ras.

Meski jumlah korban sulit diperkirakan akibat penutupan akses media dan pengawas internasional menuju Rakhine, namun berdasarkan data berbagai sumber terpercaya yang dikumpulkan dari lapangan, Burma Campaign UK meyakini korban tewas mencapai ratusan orang, bahkan mungkin seribu lebih.
Sementara lebih dari 10.000 rumah ditaksir telah hancur bahkan rata dengan tanah. Kini, laporan-laporan baru yang masuk juga mulai menyebut munculnya aksi pemerkosaan, penyiksaan, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Serangan militer Myanmar terhadap Rohingya kali ini dinilai serupa dengan yang pernah mereka lakukan pada Oktober 2016, namun dengan skala lebih besar dan koordinasi lebih terpadu untuk menghancurkan semua struktur masyarakat Rohingya.

Aksi militer Myanmar pada Oktober 2016 itu mengusik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian menyimpulkan kejahatan terhadap kemanusiaan telah berpotensi terjadi, sehingga Dewan HAM PBB membentuk Misi Pencari Fakta untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi di Rakhine, juga Shan dan Kachin di mana militer juga menjadikan etnis sipil sebagai target.

Setelah Misi Pencari Fakta PBB melakukan penyelidikan, sebuah laporan PBB awal tahun ini membeberkan rinci pelanggaran HAM oleh balatentara Jenderal Min Aung Hlaing terhadap Rohingya.

Pelanggaran-pelanggaran itu antara lain: tentara Min Aung Hlaing memberi stempel pada bayi saat bayi itu baru lahir, membunuh bayi yang menangis karena haus ketika mereka memerkosa ibu si bayi, dan menembak anak-anak dari belakang saat bocah-bocah itu lari dari desa mereka yang terbakar.
Tak pelak, Jenderal Min Aung Hlaing dianggap sebagai hambatan terbesar bagi Myanmar. Mimpi memperbaiki HAM, melakukan reformasi demokratis, dan mewujudkan kedamaian, seolah terbang terbawa angin.

“Revolusi demokrasi Myanmar gagal total. Kini kami malah memiliki ‘Neo-Nazisme’,” kata Kyaw Win.
Pegawai negeri di bawah kendali Min Aung Hlaing, menurut Farmaner dalam tulisannya di Hufftington Post, menjegal reformasi dan kebijakan buatan pemerintah (baca: Suu Kyi). Sang jenderal pula yang menyandera dana kesehatan dan pendidikan negara dengan berkeras memperoleh alokasi anggaran besar untuk militer.

Maka, modernisasi negeri, peningkatan pendidikan bagi rakyat, dan pelayanan kesehatan layak, masih mimpi belaka bagi Myanmar.

Bukan itu saja, Min Aung Hlaing juga mengancam keseluruhan proses perdamaian dengan menekankan pada sikap garis keras yang tak dapat diterima oleh banyak organisasi etnis.

Namun, entah bagaimana, ia kerap lolos dari sorotan internasional dan kritik langsung dunia. Pada krisis Rohingya tahun lalu, juga tahun ini tentunya, adalah Suu Kyi yang paling banyak disorot dan dicaci, bukan Jenderal Min Aung Hlaing yang punya tongkat komando atas tentaranya yang kalap membasmi Rohingya.

November 2016, saat Suu Kyi membatalkan perjalanannya ke Indonesia karena disebut-sebut khawatir dengan protes atas pendiriannya terhadap Rohingya, Min Aung Hlaing justru tenang-tenang saja bepergian ke Eropa untuk menghadiri undangan pertemuan para komandan militer.
Dan memang nyatanya tak ada protes terhadapnya di Italia atau Belgia. Ketika tentaranya memerkosa dan membunuh Rohingya, dia melancong tanpa gangguan di Brussel dan Roma, bahkan sempat bepesiar di kanal-kanal cantik Venesia, sebelum mengunjungi pabrik senjata terlepas dari penerapan embargo senjata Uni Eropa terhadap Myanmar.

Luar biasa, bukan? Betapa gambaran itu membuat Suu Kyi, seorang perempuan hebat penerima Nobel Perdamaian yang dahulu biasa bergaul di lingkungan internasional, kini menjadi seperti perempuan tua pencemas, sedangkan rivalnya (militer)--yang sayangnya juga harus menjadi sahabatnya--malah dengan mudah bergaul luwes bak diplomat di Eropa.

Dunia, seperti kita tahu, selau menyimpan kejutan--yang sayangnya tak selalu menyenangkan. Dan ini sialnya terjadi pada Suu Kyi yang menerima beban harapan berlebih dari rakyat Myanmar--yang dulu mengidolakannya, bahkan dari seluruh dunia.

Tersandera. Itulah yang mungkin terjadi pada Suu Kyi. Pemerintahnya, sayangnya, tak dapat berbuat banyak tanpa militer.
Sejak partai Suu Kyi, NLD, dalam tahap membentuk pemerintahan pada Desember 2015, semua pihak menyadari dukungan militer--di negara yang selama berpuluh-puluh tahun diperintah militer--akan sangat krusial agar pemerintahan NLD dapat berjalan mulus.
Meski pemerintahan beralih ke sipil, namun tak ada yang meragukan fakta bahwa: militer Myanmar tetap sangat berpengaruh dalam perpolitikan. Salah satunya, tentu saja, terlihat dari penguasaan mereka atas parlemen--yang efektif “mengikat kaki” Suu Kyi.

Berikut laporan The Guardian usai Suu Kyi dan Min Aung Hlaing menggelar pertemuan pertama mereka pada Desember 2015, hampir dua tahun lalu itu.

“Itu adalah pertemuan yang kaya dengan simbolisme. Selama lebih dari dua dekade militer menindas Aung San Suu Kyi dan NLD setelah mengabaikan kemenangan partai itu pada Pemilihan 1990, kini mereka barus bekerja sama--NLD akan membentuk pemerintah, namun militer, berdasarkan konstitusi, memegang posisi Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Perbatasan.”

Kolaborasi antara dua seteru mungkin adalah hal paling sulit di dunia. Tapi, tahun itu NLD meraup hampir 80 persen suara rakyat--sebuah capaian historis yang tak bisa dinafikan. Di sisi lain, militer tetaplah institusi paling kuat di Myanmar, sehingga siapapun yang ingin menggenggam kekuasaan harus bekerja sama dengannya.

Bagaimana militer tidak berkuasa, jika konstitusi Myanmar memberikan seperempat kursi parlemen untuknya, plus satu hak veto konstitusional, dan tiga kementerian bidang keamanan seperti disebut The Guardian di atas.

Dengan posisi militer yang sesungguhnya tetap mencengkeram negeri, apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan genosida oleh balatentara Jenderal Min Aung Hlaing terhadap Rohingya?
Terlebih, militer bukannya tak punya kepentingan membasmi Rohingya. Mereka menembaki orang-orang Rohingya dan membakari rumah-rumah di Rakhine karena memang bertujuan membuat Rohingya angkat kaki dari Myanmar.

Laporan Anders Corr dari Forbes menyebutkan, tanah dan ladang peninggalan orang-orang Rohingya yang mengungsi menghindari penindasan tentara, disulap menjadi lahan agribisnis bagi petinggi-petinggi militer Myanmar.
Luar biasa kejam dan licik.(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Indonesia Bersuara untuk Rohingya

September 02, 2017 0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Indonesia Bersuara untuk Rohingya - PBB dan dunia internasional diminta memberikan kepeduliaan atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

Indonesia Bersuara untuk Rohingya

Indonesia Bersuara untuk Rohingya
Indonesia Bersuara untuk Rohingya
Sejumlah tokoh di Indonesia menyuarakan kecaman dan keprihatinan atas kekerasan yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis Rohingya. Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar misalnya, membuat surat dan video terbuka yang mempertanyakan sikap Aung San Suu Kyi atas kejahatan kemanusiaan di negaranya.

“Anda mungkin bisa menutup mata dan memalingkan wajah dari kabar ini, tapi sebagai perjuangan demokrasi selama bertahun-tahun saya terkejut anda juga sanggup menutup hati atas tragedi yang terjadi,” kata Muhaimin dalam surat terbuka yang dipublikasikan melalui akun Twitter pribadinya, Jumat  (1/9).

Pria yang akrab disapa Cak Imin mengatakan ada setidaknya 18000 etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh. Kebanyakan mereka ialah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Sebagai penasihat negara yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian pada 1991, Suu Kyi mestinya bisa berbuat lebih besar mengakhiri kekerasan.

“Atau lepaskan saja pencapaian Nobel Perdamaian yang anda punya. Itu tidak ada artinya jika kita melihat kenyataan yang terjadi sekarang,” paparnya.

“Kita semua Rohingya sekarang.”

Cak Imin mengingatkan sikap Suu Kyi yang abai terhadap derita orang Rohingya menunjukkan ketidakpantasannya meraih Nobel Perdamaian. Menurutnya, pendekatan kekerasan yang dilakukan militer tidak akan membuat Myanmar lebih damai. “Buat apa medali yang kau pampang di lemarimu tapi kekerasan yang kau lakukan,” lanjut Cak Imin.

PBB diminta segera menerjunkan personel untuk menolong etnis Rohingya di Myanmar. “Kami protes marah dan memohon kepada PBB untuk segera turun tangan membentuk solidaritas perdamaian untuk menolong saudara-saudara kita di Rohingya,” katanya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan militer Myanmar wajib dihukum dunia internasional. Menurutnya, pembiaran Pemerintah Myanmar membuat kekerasan berlangsung sistematis dan masif. “Sehingga kejahatan ini menjadi kejahatan sistematis dan meluas yang bertujuan melenyapkan sebuah entitas etnis atau "etnic cleansing" di negara itu,” ujar Yusril.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini menyatakan pihaknya akan melakukan langkah politis dan kemanusiaan untuk membantu Muslim Rohingya. Yusril juga mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomatik untuk menekan Myanmar. Indonesia dapat menggalang negara-negara ASEAN lainnya untuk mengambil langkah nyata mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian atas Muslim Rohingya.

Sikap Suu Kyi yang terkesan mendiamkan kekerasan militer terhadap orang Rohingya juga mengundang kekecewaan. Yusril mengatakan Suu Kyi mestinya malu dengan nobel perdamaian yang pernah ia terima. “Sebagai pemegang Hadiah Nobel Perdamaian, sikap Suu Kiyi yang membiarkan kekejaman di Myanmar adalah sikap yang memalukan,” ujar Yusril.

Yusril mengajak umat Islam Indonesia bersatu membantu Muslim Rohingya. Solidaritas sebagai sesama Muslim harus ditunjukkan di saat penderitaan Muslim Rohingya sudah demikian seriusnya.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtiar Effendi meminta Pemerintah Republik Indonesia menyediakan kawasan pengungsian bagi etnis Rohingya. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan pemerintah terhadap pengungsi perang Vietnam dengan menyediakan kawasan Pulau Galang, Batam.

Upaya tersebut dianggapnya bisa membantu etnis Rohingya yang kini tengah mendapat persekusi dari pemerintah Myanmar dan penolakan Pemerintah Bangladesh.

"Kami juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan diplomasi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak terbukti menghentikan Myanmar melakukan praktik Genosida terhadap etnis Rohingya," kata Bahtiar seperti diberitakan Antara.

Bahtiar mengatakan, krisis Myanmar jika dibiarkan bisa mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara karena akan menumbuhkan perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, dan imigran ilegal yang bisa membanjiri kawasan.

PP Muhammadiyah juga meminta ASEAN menekan Myanmar di antaranya lewat pertimbangan pembekuan keanggotan Myanmar dari ASEAN. PP Muhammadiyah juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini.  Komite hadiah Nobel pun diminta mencabut hadiah Nobel bagi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi karena alih-alih mendamaikan malah memperburuk keadaan.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Z Majdi, menyampaikan rasa simpatinya terhadap penderitaan yang dialami muslim Rohingya di Myanmar.

"Beberapa hari terakhir kita melihat pembantaian terhadap orang-orang tidak bersenjata, anak-anak, kaum perempuan, orang tua, (jumlahnya) ribuan," kata Majdi, di Mesjid Hubbul Wathan Islamic Center, Mataram, Jumat seperti diberitakan Antara.

Dia menyayangkan komunitas dan masyarakat internasional seperti menutup mata dan tidak berani mengambil sikap serta mengeluarkan pernyataan yang keras, apalagi menyuarakan hukuman atau sanksi kepada pemerintah Myanmar yang telah membiarkan pembantaian seperti itu.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan Pemerintah Indonesia telah mendorong pemerintah Myanmar memulihkan stabilitas keamanan di negara bagian Rakhine, tempat mayoritas Muslim Rohingya tinggal.

"Kami mengharapkan pemerintah Myanmar dapat memberikan perlindungan terhadap semua orang yang berada di Rakhine State, termasuk komunitas Islam, dan akses kemanusiaan juga dapat diberikan agar krisis kemanusiaan tidak memburuk," kata Retno, Kamis lalu seperti diberitakan Antara.

Menlu juga telah berkomunikasi dengan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang baru-baru ini menyerahkan rekomendasi laporan penyelidikan tentang konflik berkepanjangan antara komunitas Muslim Rohingya dan komunitas Buddha di Rakhine State, atas permintaan Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.

Laporan yang dirilis oleh komisi independen pimpinan Kofi Annan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi antara lain gabungan inisiatif politik, keamanan, dan pembangunan, serta menghilangkan diskriminasi atas minoritas Muslim Rohingya untuk memastikan kekerasan di Rakhine State tidak meningkat.

Laporan tersebut juga merekomendasikan tinjauan ulang atas undang-undang kewarganegaraan yang saat ini tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar, sehingga menjadikan mereka kelompok yang terpinggirkan dan kehilangan pengaruh politik.

Dalam pembuatan laporan tersebut, kata Menlu Retno, tim komisi Kofi Annan juga melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Bali pada Desember 2016, sehingga Indonesia ikut memastikan perannya dalam mewujudkan perdamaian di Rakhine State.

"Setelah laporan diterima oleh pemerintah Myanmar, Pak Kofi Annan berharap Indonesia dapat membantu Myanmar mengimplementasikan poin-poin rekomendasi dalam laporan tersebut," ujar Retno. (Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين