Dari Rooinga ke Rohingya

September 01, 2017
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Dari Rooinga ke Rohingya - Sebuah perahu tak bermesin terombang-ambing di perairan Acheh akhir Februari 2013. Menyangka perahu itu kosong, Jamaludin, seorang nelayan, menghampiri. Sontak dia kaget ketika menjumpai ratusan orang Rohinya, tua-muda, lelaki-perempuan, berada di dalam perahu. Bersama teman-temannya, dia menarik perahu itu ke Kuala Idi.

Dari Rooinga ke Rohingya

Dari Rooinga ke Rohingya
ari Rooinga ke Rohingya

Peristiwa di Acheh bukanlah yang pertama. Beberapa tahun terakhir, wilayah perairan Indonesia kerap menjadi tempat berlabuh orang-orang Rohingya, kelompok manusia yang disebut “kaum paling terlupakan di dunia” oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.

Di Burma (Myanmar), negara yang orang-orang ini diami turun-temurun, mereka bukan hanya tak diakui sebagai warga negara, tapi juga mengalami penganiayan dan pengusiran. Tak sedikit yang kehilangan nyawa. Beberapa di antaranya terpaksa melanglangbuana ke negara-negara terdekat dengan perahu-perahu seadanya sehingga kerap disebut sebagai “manusia perahu”. Namun, tak satu pun negara yang memberikan suaka.

Banyak yang meyakini orang-orang Rohingya adalah suku bangsa asli di Arakan (sekarang wilayah Burma, sering juga disebut Rakhine). Tapi tak sedikit pula yang menyangkalnya. Identitas orang-orang Rohinya inilah yang jadi pangkal persoalan.

Orang yang mula-mula memperkenalkan istilah Rohingya kepada dunia adalah sejarawan Inggris, Francis Buchanan-Hamilton. Dalam laporan berjudul A Comparative Vocabulary of Some of the Languages Spoken in the Burma Empire, terbit pada 1799, Buchanan-Hamilton mengatakan: “Saya akan menambahkan tiga bahasa lagi yang digunakan di imperium Burma yang tampaknya berasal dari bahasa etnis Hindu. Bahasa pertama digunakan oleh umat Islam, yang sudah lama tinggal di Arakan, dan yang menyebut diri mereka Rooinga, atau suku asli Arakan.”

Istilah “Rooinga” kemudian berubah jadi Rohingya.

Namun, para sejarawan Burma membantahnya. Salah satunya Aye Chan, sejarawan dari Universitas Kanda. Dia bahkan dengan lantang berkata, pengakuan orang-orang Rohingya sebagai masyarakat asli Burma adalah kesalahan. Menurutnya, istilah Rohingya baru dikenal dalam sejarah setelah era kemerdekaan.

“Istilah ‘Rohingya’ mulai digunakan pada 1950-an oleh orang-orang terdidik Bengali yang menempati wilayah perbatasan Mayu dan tak dapat ditemukan dalam sumber sejarah manapun sebelumnya,” tulis Chan dalam sebuah buletin yang diterbitkan universitasnya pada 2005.

Sekalipun para ahli enggan mengakui keberadaannya, faktanya istilah Rohingya kini dipakai untuk menyebut orang-orang Muslim di Burma yang mengalami pengusiran.(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Artikel Terkait

Previous
Next Post »